Sabtu, 08 Juni 2013

Life Story: Lukisan Lale


Namaku Lale Adinda Putri, aku berumur 14 tahun, dan duduk di bangku kelas 2 SMP. Hidupku penuh dengan kemewahan, apapun yang aku mau pasti terpenuhi. Kedua orang tuaku adalah seorang penari profesional, mereka memperoleh kekayaan mereka dari tari, bahkan kedua orang tuaku juga dipertemukan karena tari, mereka sangat mencintai tari, tapi tidak denganku.

Seni Lukis, itulah yang kucintai, aku sangat mencintai seni lukis, tapi kedua orang tuaku tidak, mereka tidak menyukainya!, mereka ingin aku juga menjadi penari dan mencintai tari, layaknya mereka, tapi aku tidak bisa.

Setiap  hari, sepulang sekolah aku harus pergi lagi untuk les tari, itu adalah hal yang paling membosankan, saat pulang aku selalu mendapati rumah kosong, hanya ada pembantu, tukang kebun, dan satpam. Bagaimana tidak, orang tuaku selalu pentas di luar kota dan mengadakan tour ke luar negeri dan aku membenci itu semua !

Ketiadaan mereka di rumah kupergunakan untuk mengasah bakatku, melukis. Aku sering sekali menghabiskan waktuku di taman untuk melukis, aku sangat senang, saat melukis aku merasa sangat bebas, seluruh bebanku hilang dengan sekejap, semilir angin, kicauan burung, langit biru aahh itu semua sangat menenangkanku, menghilangkan sedihku dan batinku yang terluka.

Pak Ahmad, supirku, ia selalu mengantarku kemanapun aku mau, ia sangat baik kepadaku, saat ada festival seni, aku selalu meminta pak Ahmad mengantarku kesana. Aku selalu membawa perlengkapan lukisku, karena setiap pergi ke suatu tempat, aku mendapatkan inspirasi untuk melukis.

Ah, ini dia, festival bau nyale, ini yang kutunggu-tunggu. Festival ini mempunyai legenda, yaitu kisah seorang jelita bernama Putri Mandalika, tidak hanya cantik, putri Mandalika juga sangat baik hati, kecantikannya sangat terkenal tidak hanya di kerajaan-kerajaan di pulau Lombok namun juga di seluruh nusantara, banyak pangeran dari berbagai kerajaan tertarik kepadanya karena kecantikannya. Banyak pangeran yang datang melamarnya, bahkan rakyatnya pun memperebutkannya. Akhirnya, terjadilah perang saudara, mereka berperang untuk mendapatkan putri Mandalika, tentu saja putri Mandalika sangat sedih, agar tidak terjadi pertumpahan darah lagi, putri mandalika menceburkan dirinya ke laut dan berubah menjadi nyale,yaitu berupa cacing yang berwarna-warni, nyale ini hanya muncul di pantai Kuta, Lombok Tengah, dan tidak ada di tempat lain.

Inilah pantai Kuta, pasir yang putih, laut yang biru, semua begitu indah.Terlihat seorang lelaki dewasa dengan seorang perempuan muda menggandeng seorang anak perempuan dengan tawa bahagia menyusuri pantai. “Oh, Tuhan, andaikan aku bisa seperti anak perempuan itu, andaikan kedua orang tuaku tidak hanya memikirkan karir mereka! Oh Tuhan, ini tidak adil..”, rintihku dalam hati. Masa kecilku sangat kesepian, bonekaku sangat banyak, namun mereka semua benda mati! Mereka semua tidak bisa menyanyikanku sebelum tidur ataupun mendongeng untukku, mereka tidak pernah menjawabku saat ku tanya, mereka tidak bisa menyuapiku, mereka tidak bisa memberiku obat saat aku sakit, aku seperti gadis gila yang mengajak bonekaku berbicara setiap waktu dan sesekali menyuruhnya mencicipi teh buatanku. Aku sangat tertekan, air mataku mengalir pertanda perih yang kurasakan. “Lale, kenapa nangis ?” tanya pak Ahmad panik, “Enggak pak, ini tadi mata saya kelilipan..” jawabku, sambil mengusap air mata. “Pak, kita pulang aja yah ?”, pak Ahmad tersenyum dan hanya mengangguk lalu membereskan perlengkapan lukisku, kami pun pulang menjauhi pantai pasir putih itu.
****

Sinar matahari mulai menyinari kamar merah mudaku, dengan boneka teddy yang memenuhi setiap sudut kamarku, sinar matahari yang biasanya hangat tak terasa hangat bagiku pagi ini, perlahan aku bangkit dari tempat tidurku untuk segera mandi. Di ruang makan, bik Siti sudah menyiapkan roti keju kesukaanku, roti keju yang biasanya terasa enak kini terasa hambar, bahkan tubuhku seperti tidak bernyawa.

Mobil melesat menuju sekolah, sesampai di sekolah, aku ke kelas dan hanya duduk sambil terdiam melihat ke arah jendela. Rupanya bu Ratna, guru kesenianku memperhatikanku, ia mengajakku ke ruang guru, dan bertanya banyak padaku. Bu Ratna adalah guru yang paling aku senangi, karena ia mengajarkanku banyak teknik melukis, tentu saja ia tahu bakat melukisku.

“Sebenarnya, apa yang terjadi Lale ? mengapa kamu hanya terdiam saja di kelas ? apa kamu mempunyai masalah ? ceritakan pada ibu..”, tanya bu Ratna lembut, “Saya begitu tersiksa bu, di satu sisi saya sangat senang orang tua saya sering pergi ke luar kota, karena saya bisa leluasa melukis dan mengasah bakat saya, tapi di sisi lain, saya sangat merindukan kehadiran mereka, saya merindukan kasih sayang mereka, tapi saya juga ingin mereka mengerti kalau saya ingin terus melukis bukan menari”, jawabku lirih, hampir menangis. Bu Ratna begitu mengerti perasaanku, ia seperti orang tua kedua bagiku. “Kalau begitu, Lale harus buktikan kalau Lale bersungguh-sungguh untuk melukis, Lale harus buktikan ke orang tua Lale bahwa melukis adalah impian Lale, Lale harus tetap semangat !”. Hatiku tenang bisa berbagi cerita dengan bu Ratna, aku semakin bersemangat untuk terus melukis.

Hari demi hari aku jalani dengan semangat lagi, aku semakin bersemangat untuk terus melukis, aku terus mengingat pesan bu Ratna, aku tidak akan pernah putus asa lagi. Aku akan terus melukis, setiap ada kesempatan, aku meminta bu Ratna untuk mengajarkanku teknik melukis yang baik dan benar. “Hebat Lale ! kamu semakin mahir melukis, lukisanmu begitu lembut dan tulus, itu yang sangat ibu sukai”. Senang rasanya bu Ratna memujiku seperti itu, karena orang tuaku tidak pernah melakukan hal yang sama seperti bu Ratna.

****

Hebat, pagi ini roti keju kesukaanku tidak lagi terasa hambar !, senang rasanya bisa semangat kembali. Minggu pagi ini terlihat lebih cerah, aku mulai melukis lagi di taman. Berjam-jam aku habiskan, dan aku mulai lelah, aku masuk untuk mengambil makanan dan jus, tapi saat melewati ruang keluarga, aku melihat sebuah album yang berukuran cukup besar dan terlihat usang di bawah meja, aku mendekat dan mengambilnya. Album itu sangat berdebu, aku berlari mengambil kemoceng lalu kubersihkan album itu. “Hachooouu!!”, debunya yang banyak cukup membuatku tidak berhenti bersin.

Perlahan kubuka album itu, mataku terpana melihat kumpulan foto-foto yang tertempel rapi disitu, di album itu ada aku sewaktu aku baru saja lahir, saat aku mulai merangkak, saat aku perpisahan TK, saat aku bermain di pantai. Wah, tak kusangka ternyata sewaktu aku kecil aku begitu menggegamaskan.

Aku terdiam pada satu foto, itu adalah fotoku, kakakku dan kedua orang tuaku, sudah lama sekali kami tidak pernah berfoto bersama seperti pada foto ini, aku merindukannya, aku sangat merindukannya. Ku ambil foto itu dari album, ku bawa keluar taman lalu aku mulai melukisnya, aku ingin memberikan lukisanku ini untuk kedua orang tuaku agar mereka percaya bahwa aku bersungguh-sungguh untuk melukis.

****

Hari-hari berlalu, orang tuaku pulang, dan lukisan ku telah selesai, aku besyukur lukisan selesai tepat waktu. Kusambut mereka dengan hangat, lalu ku serahkan sebuah bingkisan kepada mereka. “Apa ini, Lale?”, tanya mama, aku hanya tersenyum, lalu dibukanya bingkisan itu, dilihatnya lukisanku, mama terdiam cukup lama. “Ma, ini Lale yang lukis, Lale melukis ini dari foto kita dulu, Lale cuma pengen Mama sama Papa tau, kalau Lale sungguh-sungguh pengen melukis, ini impian Lale. Menari bukan impian Lale !, Lale nggak mau Papa sama Mama benci seni lukis, bukannya seni lukis dan seni tari adalah kebudayaan yang harus sama-sama kita jaga, maka dari itu, Lale pengen Mama sama Papa dukung Lale melukis, Lale juga pengen Mama sama Papa selalu ada buat Lale, Lale kesepian di rumah.. Lale pengen kita liburan sama-sama.. Lale nggak mau sendiri.. Lale kangen Mama sama Papa..”, suaraku semakin terisak karena tangisku yang tak terbendung lagi. Mama dan Papa memelukku, mereka memelukku sangat erat. “Ma’afin Mama sama Papa yah Lale, kamu boleh kok tetap melukis”, jawab Mama haru.
****

Pada akhirnya aku mengerti bahwa belajar tentang kebudayaan kita itu sangat penting, kini aku mau belajar seni tari, ternyata sangat menyenangkan bisa belajar banyak tari, selain menambah wawasan aku juga bisa mengajarkan seni tari itu kepada anak cucuku kelak, tapi tentu saja aku akan tetap melukis dan terus melukis.


Thanks guys! semoga kalian suka cerita aku ;)

Tidak ada komentar: