Namaku Lale Adinda Putri, aku berumur 14 tahun, dan
duduk di bangku kelas 2 SMP. Hidupku penuh dengan kemewahan, apapun yang aku
mau pasti terpenuhi. Kedua orang tuaku adalah seorang penari profesional,
mereka memperoleh kekayaan mereka dari tari, bahkan kedua orang tuaku juga
dipertemukan karena tari, mereka sangat mencintai tari, tapi tidak denganku.
Seni Lukis, itulah yang kucintai, aku sangat
mencintai seni lukis, tapi kedua orang tuaku tidak, mereka tidak menyukainya!,
mereka ingin aku juga menjadi penari dan mencintai tari, layaknya mereka, tapi
aku tidak bisa.
Setiap hari,
sepulang sekolah aku harus pergi lagi untuk les tari, itu adalah hal yang
paling membosankan, saat pulang aku selalu mendapati rumah kosong, hanya ada
pembantu, tukang kebun, dan satpam. Bagaimana tidak, orang tuaku selalu pentas
di luar kota dan mengadakan tour ke luar negeri dan aku membenci itu semua !
Ketiadaan mereka di rumah kupergunakan untuk
mengasah bakatku, melukis. Aku sering sekali menghabiskan waktuku di taman
untuk melukis, aku sangat senang, saat melukis aku merasa sangat bebas, seluruh
bebanku hilang dengan sekejap, semilir angin, kicauan burung, langit biru aahh
itu semua sangat menenangkanku, menghilangkan sedihku dan batinku yang terluka.
Pak Ahmad, supirku, ia selalu mengantarku kemanapun
aku mau, ia sangat baik kepadaku, saat ada festival seni, aku selalu meminta
pak Ahmad mengantarku kesana. Aku selalu membawa perlengkapan lukisku, karena
setiap pergi ke suatu tempat, aku mendapatkan inspirasi untuk melukis.
Ah, ini dia, festival bau nyale, ini yang
kutunggu-tunggu. Festival ini mempunyai legenda, yaitu kisah seorang jelita
bernama Putri Mandalika, tidak hanya cantik, putri Mandalika juga sangat baik
hati, kecantikannya sangat terkenal tidak hanya di kerajaan-kerajaan di pulau
Lombok namun juga di seluruh nusantara, banyak pangeran dari berbagai kerajaan
tertarik kepadanya karena kecantikannya. Banyak pangeran yang datang
melamarnya, bahkan rakyatnya pun memperebutkannya. Akhirnya, terjadilah perang
saudara, mereka berperang untuk mendapatkan putri Mandalika, tentu saja putri
Mandalika sangat sedih, agar tidak terjadi pertumpahan darah lagi, putri
mandalika menceburkan dirinya ke laut dan berubah menjadi nyale,yaitu berupa cacing yang berwarna-warni, nyale ini hanya muncul di pantai Kuta, Lombok Tengah, dan tidak ada
di tempat lain.
Inilah pantai Kuta, pasir yang putih, laut yang
biru, semua begitu indah.Terlihat seorang lelaki dewasa dengan seorang
perempuan muda menggandeng seorang anak perempuan dengan tawa bahagia menyusuri
pantai. “Oh, Tuhan, andaikan aku bisa seperti anak perempuan itu, andaikan
kedua orang tuaku tidak hanya memikirkan karir mereka! Oh Tuhan, ini tidak
adil..”, rintihku dalam hati. Masa kecilku sangat kesepian, bonekaku sangat
banyak, namun mereka semua benda mati! Mereka semua tidak bisa menyanyikanku
sebelum tidur ataupun mendongeng untukku, mereka tidak pernah menjawabku saat ku
tanya, mereka tidak bisa menyuapiku, mereka tidak bisa memberiku obat saat aku
sakit, aku seperti gadis gila yang mengajak bonekaku berbicara setiap waktu dan
sesekali menyuruhnya mencicipi teh buatanku. Aku sangat tertekan, air mataku
mengalir pertanda perih yang kurasakan. “Lale, kenapa nangis ?” tanya pak Ahmad
panik, “Enggak pak, ini tadi mata saya kelilipan..” jawabku, sambil mengusap
air mata. “Pak, kita pulang aja yah ?”, pak Ahmad tersenyum dan hanya
mengangguk lalu membereskan perlengkapan lukisku, kami pun pulang menjauhi
pantai pasir putih itu.
****
Sinar matahari mulai menyinari kamar merah mudaku,
dengan boneka teddy yang memenuhi setiap sudut kamarku, sinar matahari yang
biasanya hangat tak terasa hangat bagiku pagi ini, perlahan aku bangkit dari
tempat tidurku untuk segera mandi. Di ruang makan, bik Siti sudah menyiapkan
roti keju kesukaanku, roti keju yang biasanya terasa enak kini terasa hambar,
bahkan tubuhku seperti tidak bernyawa.
Mobil melesat menuju sekolah, sesampai di sekolah,
aku ke kelas dan hanya duduk sambil terdiam melihat ke arah jendela. Rupanya bu
Ratna, guru kesenianku memperhatikanku, ia mengajakku ke ruang guru, dan
bertanya banyak padaku. Bu Ratna adalah guru yang paling aku senangi, karena ia
mengajarkanku banyak teknik melukis, tentu saja ia tahu bakat melukisku.
“Sebenarnya, apa yang terjadi Lale ? mengapa kamu
hanya terdiam saja di kelas ? apa kamu mempunyai masalah ? ceritakan pada
ibu..”, tanya bu Ratna lembut, “Saya begitu tersiksa bu, di satu sisi saya
sangat senang orang tua saya sering pergi ke luar kota, karena saya bisa
leluasa melukis dan mengasah bakat saya, tapi di sisi lain, saya sangat
merindukan kehadiran mereka, saya merindukan kasih sayang mereka, tapi saya
juga ingin mereka mengerti kalau saya ingin terus melukis bukan menari”,
jawabku lirih, hampir menangis. Bu Ratna begitu mengerti perasaanku, ia seperti
orang tua kedua bagiku. “Kalau begitu, Lale harus buktikan kalau Lale
bersungguh-sungguh untuk melukis, Lale harus buktikan ke orang tua Lale bahwa
melukis adalah impian Lale, Lale harus tetap semangat !”. Hatiku tenang bisa
berbagi cerita dengan bu Ratna, aku semakin bersemangat untuk terus melukis.
Hari demi hari aku jalani dengan semangat lagi, aku
semakin bersemangat untuk terus melukis, aku terus mengingat pesan bu Ratna,
aku tidak akan pernah putus asa lagi. Aku akan terus melukis, setiap ada
kesempatan, aku meminta bu Ratna untuk mengajarkanku teknik melukis yang baik
dan benar. “Hebat Lale ! kamu semakin mahir melukis, lukisanmu begitu lembut
dan tulus, itu yang sangat ibu sukai”. Senang rasanya bu Ratna memujiku seperti
itu, karena orang tuaku tidak pernah melakukan hal yang sama seperti bu Ratna.
****
Hebat, pagi ini roti keju kesukaanku tidak lagi
terasa hambar !, senang rasanya bisa semangat kembali. Minggu pagi ini terlihat
lebih cerah, aku mulai melukis lagi di taman. Berjam-jam aku habiskan, dan aku
mulai lelah, aku masuk untuk mengambil makanan dan jus, tapi saat melewati
ruang keluarga, aku melihat sebuah album yang berukuran cukup besar dan
terlihat usang di bawah meja, aku mendekat dan mengambilnya. Album itu sangat
berdebu, aku berlari mengambil kemoceng lalu kubersihkan album itu.
“Hachooouu!!”, debunya yang banyak cukup membuatku tidak berhenti bersin.
Perlahan kubuka album itu, mataku terpana melihat
kumpulan foto-foto yang tertempel rapi disitu, di album itu ada aku sewaktu aku
baru saja lahir, saat aku mulai merangkak, saat aku perpisahan TK, saat aku
bermain di pantai. Wah, tak kusangka ternyata sewaktu aku kecil aku begitu
menggegamaskan.
Aku terdiam pada satu foto, itu adalah fotoku,
kakakku dan kedua orang tuaku, sudah lama sekali kami tidak pernah berfoto
bersama seperti pada foto ini, aku merindukannya, aku sangat merindukannya. Ku
ambil foto itu dari album, ku bawa keluar taman lalu aku mulai melukisnya, aku
ingin memberikan lukisanku ini untuk kedua orang tuaku agar mereka percaya
bahwa aku bersungguh-sungguh untuk melukis.
****
Hari-hari berlalu, orang tuaku pulang, dan lukisan
ku telah selesai, aku besyukur lukisan selesai tepat waktu. Kusambut mereka
dengan hangat, lalu ku serahkan sebuah bingkisan kepada mereka. “Apa ini,
Lale?”, tanya mama, aku hanya tersenyum, lalu dibukanya bingkisan itu,
dilihatnya lukisanku, mama terdiam cukup lama. “Ma, ini Lale yang lukis, Lale
melukis ini dari foto kita dulu, Lale cuma pengen Mama sama Papa tau, kalau Lale
sungguh-sungguh pengen melukis, ini impian Lale. Menari bukan impian Lale !,
Lale nggak mau Papa sama Mama benci seni lukis, bukannya seni lukis dan seni
tari adalah kebudayaan yang harus sama-sama kita jaga, maka dari itu, Lale
pengen Mama sama Papa dukung Lale melukis, Lale juga pengen Mama sama Papa
selalu ada buat Lale, Lale kesepian di rumah.. Lale pengen kita liburan
sama-sama.. Lale nggak mau sendiri.. Lale kangen Mama sama Papa..”, suaraku
semakin terisak karena tangisku yang tak terbendung lagi. Mama dan Papa
memelukku, mereka memelukku sangat erat. “Ma’afin Mama sama Papa yah Lale, kamu
boleh kok tetap melukis”, jawab Mama haru.
****
Pada akhirnya aku mengerti bahwa belajar tentang
kebudayaan kita itu sangat penting, kini aku mau belajar seni tari, ternyata
sangat menyenangkan bisa belajar banyak tari, selain menambah wawasan aku juga
bisa mengajarkan seni tari itu kepada anak cucuku kelak, tapi tentu saja aku
akan tetap melukis dan terus melukis.
Thanks guys! semoga kalian suka cerita aku ;)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar